KRITERIA WHO menyebutkan, suatu penyakit digolongkan langka jika jumlah penderitanya di sebuah negara kurang dari 2.000 orang. Penyakit langka umumnya sulit didiagnosis dan diobati. Seperti dituturkan orangtua dari penderita penyakit langka, pasangan Joanna Alexandra dan Raditya Oloan. Putri mereka, Ziona yang berumur 15 bulan didiagnosis menderita penyakit langka jenis campomelic dysplasia (CMD). “Diagnosisnya baru benar-benar tegak pada usia Ziona 15 bulan. Mutasinya baru dilaporkan di seluruh dunia. Ziona yang pertama kali,” terang Joanna dalam acara diskusi Penanganan Dini Anak-Anak Penderita Penyakit Langka, di Jakarta, kemarin.
Untuk mendapatkan diagnosis yang tepat, Joanna mengaku ada serangkaian tes yang harus dilakukan. “Biayanya mahal, belum ada di Indonesia,” imbuhnya. Pendiri sekaligus Direktur Center for Healthcare Policy & Reform Studies (Chapters) Indonesia, Luthfi Mardiansyah, mengungkapkan diagnosis untuk penyakit langka di Indonesia memang masih minim. Padahal, apabila ditemukan secara dini dan mendapatkan pengobatan yang tepat, kualitas hidup anak-anak dengan penyakit langka bisa membaik.
Luthfi menjelaskan, ada sekitar 6.000-8.000 jenis penyakit yang masuk klasifikasi langka. “Penyakit ini biasanya bersifat kronis, progresif, dan mengancam kehidupan penderita apabila tidak segera mendapatkan pengobatan yang benar. Masalahnya, sering kali terjadi, pasien terlambat ditangani karena kesalahan diagnosis,” katanya.
Ketua Yayasan Mukopolisakaridosis (MPS) dan Penyakit Langka Indonesia, Peni Utami, mengatakan masih banyak keluarga yang menganggap penyakit tersebut ialah kutukan. Padahal, tutur Peni, sekitar 80% penyebab dari penyakit langka ialah kelainan genetik, antara lain kelainan genetik yang membuat penderitanya mengalami kekurangan enzim sehingga terjadi penumpukan atau kekurangan zat tertentu di tubuh.
Masyarakat, lanjut Peni, perlu mendapatkan informasi mengenai penyakit langka, terutama gejalanya (lihat grafik). “Segera pemeriksakan anak ke dokter spesialis anak untuk deteksi dini,” saran Peni.
Obat mahal
Peni menjelaskan, berdasarkan data global, dari total jenis-jenis penyakit langka, 5%-nya bisa diobati dan anak dapat tumbuh dengan baik apabila mendapatkan pengobatan yang tepat.
“Anak-anak penderita penyakit langka itu sangat membutuhkan obat. Bagi mereka, obat sifatnya life saving (menyelamatkan nyawa),” ujar Peni.
Sayangnya, di Indonesia hanya ada satu jenis obat yang sudah terdaftar izin edarnya. Selain itu, tidak semua perusahaan produsen obat penyakit langka punya perwakilan di Indonesia sehingga pengadaannya sulit dan harus dengan pengajuan dokter, rumah sakit, serta persetujuan Badan POM.
Peni bercerita, adiknya merupakan salah satu pasien penyakit langka. Dulu keluarganya harus membeli obat tersebut dari Amerika seharga US$30 ribu ditambah pajak sekitar 7,5%.
“Saat ini sudah bebas pajak, tetapi akses masih sulit. Harus ada rekomendasi dokter dan perusahaan obat sangat diperlukan menurut kami sangat berbelit-belit dan menghambat pasien,” ujar dia.
Hal senada disampaikan Luthfi. Ia mengatakan, obat-obatan dan makanan khusus untuk anak-anak penderita penyakit langka, masih diimpor dari luar negeri dengan harga yang sangat mahal. Ia mencontohkan pengobatan terapi sulih enzim untuk penderita penyakit langka jenis MPS bisa berkisar Rp3 miliar yang harus diberikan setiap enam bulan sekali seumur hidup.
“Oleh karena itu, kami meminta agar pemerintah melakukan upaya terobosan dalam menjamin akses dalam penanganan dan pengobatan anak-anak penderita penyakit langka,” pungkas Peni. (H-2)