Oleh Rina Karmila
KASUS kematian bayi merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh para pemangku kebijakan, terutama negara berkembang seperti Indonesia yang tidak mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) untuk penurunan angka kematian bayi (AKB). AKB mencerminkan tingkat pembangunan kesehatan dari suatu negara serta kualitas hidup dari masyarakatnya. Angka ini digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi program, serta kebijakan kependudukan dan kesehatan suatu negara di seluruh dunia.
Indonesia sendiri telah mengeluarkan kebijakan dalam upaya menurunkan AKB ini melalui program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga melalui Permenkes No.39 Tahun 2016. Namun kebijakan publik tersebut belum menjangkau seluruh stakeholder, terutama Puskesmas sebagai ujung tombak pelaksanaan program Indonesia Sehat, sehingga implementasi dari kebijakan belum optimal.
Sampai saat ini, belum ada formulasi untuk proyeksi kebutuhan tenaga perawat yang efektif dan efisien di komunitas, sehingga program Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) belum optimal dilaksanakan oleh setiap Puskesmas dikarenakan kurangnya tenaga perawat. Padahal Perkesmas merupakan program penting Puskesmas dalam mewujudkan tujuan program Indonesia Sehat terkait penurunan AKB.
Tren AKB yang terus meningkat merupakan suatu permasalahan besar bagi suatu negara, dikarenakan AKB ini merupakan indikator yang mencerminkan tingkat pembangunan kesehatan dan kualitas hidup masyarakat dari suatu negara. Sejak 2015 lalu, dunia mulai bekerja keras ke arah agenda pemgembangan global yang baru, yaitu Suistainable Development Goals (SDGs). Ini bertujuan untuk menurunkan AKB sekurang-kurangnya 12/1.000 kelahiran hidup pada 2030.
Menurut WHO secara global kematian bayi pada 2015 mencapai 4,5 juta atau 75% dari seluruh kematian pada periode usia di bawah 5 tahun (The UN Inter-agency Group for Child Mortality Estimation, 2015). Perlu diketahui bahwa 99% kematian bayi secara global terjadi di negara yang sedang berkembang, dan 25-45% kematian tersebut terjadi 24 jam pertama setelah lahir (Siddhartha Gogia dan Harshpal Singh Sachdev, 2010).
Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian bayi di Indonesia hanya turun sedikit dari pencapaian 2007, yaitu dari 34 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup. Berarti 1 dari 31 bayi meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun. Sebanyak 60% kematian bayi terjadi pada usia 0 bulan dan 80% kematian balita terjadi pada umur 0-11 bulan. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk menurunkan angka kematian bayi sesuai target program SDGs pada 2030 nanti.
Masih tinggi
Aceh merupakan satu provinsi di Indonesia dengan AKB masih tinggi, AKB setelah melahirkan menunjukkan tren peningkatan di Aceh. Pada 2013 tercatat ada 808 balita yang meninggal. Tahun 2014 jumlahnya menjadi 831 balita, atau meningkat sebesar 3,4% (Serambi Indonesia, 22/4/2015). Pemerintah Aceh harus bekerja keras untuk menurunkan AKB dengan strategi yang tepat, yaitu strategi program berbasis masyarakat dengan kunjungan ke rumah. Strategi ini dapat menurunkan angka kematian bayi hingga di atas 40% (Baqui et al., 2009; Bhutta et al., 2011; Lassi, Haider, & Bhutta, 2010 dalam Brentani et al., 2016).
Sesuai dengan pernyataan Brentani et al., (2016) bahwa upaya kesehatan berbasis masyarakat dengan pendekatan/kunjungan keluarga dapat menjadi suatu strategi yang efektif untuk menurunkan AKB terutama di suatu negara dengan pendapatan menengah ke bawah.
Pemerintah Indonesia sendiri telah merumuskan suatu kebijakan publik mengenai hal ini yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No.39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, di mana satu dari 4 area prioritasnya adalah penurunan AKB.
Pada Pasal 5 disebutkan, penyelenggaraan program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga ini dilaksanakan oleh Puskesmas. Namun kebijakan publik tersebut belum terimplementasi secara optimal. Pendekatan keluarga adalah satu cara Puskesmas untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan mendekatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga. (Kemenkes RI, 2016).
Kemudahan akses pelayanan kesehatan akan diperoleh dengan kunjungan tenaga kesehatan ke rumah. Untuk itu, diperlukan pengaturan agar setiap keluarga di wilayah Puskesmas memiliki Tim Pembina Keluarga. (Kemenkes RI, 2016).
Menurut Brentani et al., (2016) tim pembina keluarga terdiri dari 6 kader kesehatan masyarakat, 3 perawat, dan 1 dokter umum. Tim pembina keluarga ini berfungsi untuk memberikan asuhan pelayanan kesehatan kepada keluarga secara berkesinambungan.
Perawat merupakan tenaga kesehatan yang mempunyai andil besar dalam tim pembina keluarga. Perawat merupakan tenaga kesehatan terbesar di Indonesia dengan jumlah 60% dari seluruh tenaga kesehatan yang ada, sehingga perawat mempunyai tanggung jawab yang besar dalam menentukan kualitas pelayanan kesehatan.
Melalui upaya Perkesmas yang terintegrasi dalam setiap upaya kesehatan masyarakat di Puskesmas, perawat bertanggung jawab dalam memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas. Terkait hal tersebut yang menjadi kendala adalah pemerintah belum sepenuhnya memproyeksikan kebutuhan tenaga kesehatan khususnya tenaga perawat secara merata di seluruh daerah, terutama di daerah terpencil.
Tantangan
Negara-negara di dunia berkomitmen melanjutkan agenda pembangunan global MDGs secara berkelanjutan yang disebut SDGs. Satu agendanya tetap memasukkan target penurunan AKB dengan indikator yang lebih tinggi dari MDGs, yaitu sekurang-kurangnya 12/1.000 kelahiran hidup. Hal ini menjadi tantangan bagi negara berkembang dan negara miskin yang AKB-nya di bawah indikator yang ditargetkan MDGs. Penurunan AKB ini menjadi satu dari empat area prioritas pemerintah dalam program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga, yang juga diamanatkan dalam Renstra Kemenkes 2015-2019.
Renstra Tahun 2015-2019 menyebutkan bahwa salah satu acuan bagi arah kebijakan Kementerian Kesehatan adalah penerapan pendekatan pelayanan kesehatan yang terintegrasi dan berkesinambungan (continuum of care). Hal ini berarti bahwa pelayanan kesehatan harus dilakukan terhadap seluruh tahapan siklus hidup manusia (life cycle). Untuk dapat melaksanakan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan terhadap seluruh tahapan siklus hidup manusia, maka fokus pelayanan kesehatan harus pada keluarga.
Program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga dilaksanakan oleh Puskesmas dengan mengintegrasikan upaya Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di dalamnya. Upaya Perkesmas adalah pelayanan profesional yang terintegrasi dengan pelayanan kesehatan di puskesmas yang dilaksanakan oleh perawat. Namun tidak semua Puskesmas di Aceh yang melaksanakan upaya Perkesmas ini secara optimal dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia (perawat) baik secara kualitas maupun kuantitas.
Rekomendasi yang diusulkan oleh penulis ini ditujukan kepada kementerian/lembaga terkait, yaitu Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Aceh, dan seluruh Puskesmas di Aceh, adalah: (1) Perlunya sosialisasi secara komprehensif kepada seluruh stakeholder provinsi, kabupaten/kota sampai Puskesmas tentang Permenkes No.39 Tahun 2016; (2) Merumuskan formulasi untuk proyeksi kebutuhan tenaga keperawatan komunitas yang berkompeten di seluruh daerah secara efektif dan efisien;
(3) Perlunya membentuk tim pembina keluarga untuk setiap keluarga yang berdasarkan kebutuhan dan keefektifan pelaksanaan kegiatan; (4) Optimalisasi kegiatan Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di setiap puskesmas; (5) Optimalisasi subsistem pemberdayaan masyarakat yang tidak hanya memberdayakan perorangan, melainkan juga keluarga dan masyarakat, dan; (6) Revitalisasi Posyandu dengan tujuan agar terjadi peningkatan fungsi dan kinerja posyandu secara lebih efektif yang mendukung upaya pendekatan keluarga untuk menurunkan AKB.