Dokterdigital.com – Indonesia menghadapi sejumlah tantangan perawatan kesehatan. Meningkatnya usia harapan hidup masyarakat, yang berarti populasi usia lanjut bertambah lengkap dengan segala penyakit yang muncul di usia tua, sementara infrastruktur kesehatan hanya tumbuh subur di area urban. Di sisi lain, meski Indonesia tercatat sebagai salah satu pengguna internet terbesar di dunia, namun penggunaan teknologi digital belum optimal.
Sejak Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dirilis pada 2014 dan menunjuk BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara, layanan kesehatan digital tumbuh bak jamur di musim hujan. Sejumlah website menawarkan platform konsultasi kesehatan online, bahkan teleconsultation yang memungkinkan masyarakat berkonsultasi dengan dokter secara online, bahkan untuk keperluan second opinion.
Tak dimungkiri, di era disrupsi teknologi yang membuat kebiasaan hidup dan perilaku seseorang berubah, kondisi ini berdampak pada semua aspek, termasuk kesehatan. Disadari atau tidak, layanan kesehatan digital menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharian masyarakat urban dewasa ini.
Studi yang dilakukan oleh Deloitte Indonesia bekerja sama dengan Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) Indonesia dan Bahar Law Firm menemukan fakta menarik, yaitu mayoritas responden atau sekira 84,4 persen pengguna layanan kesehatan digital mengaku puas dengan layanan yang ada, demikian disampaikan Founder dan Chairman Chapters Indonesia Luthfi Mardiansyah dalam temu media di Jakarta, Senin (19/8).
Menurut Luthfi, kepuasan yang dirasakan responden (pengguna platform kesehatan digital) mencakup kenyamanan, kepraktisan biaya rendah, dan sejumlah opsi yang disediakan platform digital sehingga konsumen bisa memilih. “Yang menarik, sejumlah orang menggunakan layanan digital ini untuk konsultasi jika dia kebetulan berkunjung di area remote dan sakit namun kesulitan menemukan akses kesehatan. Berkonsultasi dengan dokter secara online bisa menjadi pilihan, sebelum pasien ini datang ke rumah sakt atau klinik untuk bertemu langsung dengan dokter,” ujar Luthfi mengutip hasil studi yang dilakukan pada 2018.
Meski mayoritas responden merasa puas dengan layanan kesehatan digital, namun masih ada 15,6 persen responden yang tidak puas. Ketidakpuasan ini harus disikapi dengan bijak. “Tidak puasnya karena apa? Apakah terkait data pribadi, atau siapa yang menyimpan riwayat kesehatan (medical record – merupakan kerahasiaan dokter dan pasien) saat berobat. Hal-hal semacam ini harus ada solusinya,” beber Luthfi.
Luthfi menandaskan, meningkatnya minat terhadap layanan kesehatan digital harus dibarengi dengan tumbuhnya infrastruktur kesehatan yang memadai dan regulasi data yang telah terkumpul pada layanan tersebut. “Keamanan data ini penting karena jangan sampai data bocor dan digunakan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab,” Luthfi mengingatkan. Selain keamanan data, imbuh Luthfi, survei juga menemukan ada sejumlah masalah dalam perkembangan layanan digital.
“Responden masih merasa ada komunikasi yang kurang baik antara dokter dengan pasien karena tidak diperiksa secara langsung. Jadi diagnosis memang tidak dapat ditegakkan melalui konsultasi online. Untuk menegakkan diagnosis, pasien harus bertemu dokter,” ujarnya.
Selain itu, sejumlah tenaga kesehatan masih ‘gagap teknologi’ khususnya para petugas senior. “Banyak yang masih mengandalkan rekam medis di buku catatan. Sehingga jika pasien pindah rumah sakit, dia harus mengulang prosesnya dari nol. Ini makan waktu dan biaya. Padahal jika semua terintegrasi secara online, rekam medis akan muncul jika dipanggil menggunakan kata sandi tertentu yang hanya diketahui dokter dan pasien,” ujar Luthfi. Satu hal yang masih menjadi kendala adalah terkait keamanan obat.
“Ada sejumlah obat yang butuh penanganan khusus, misalnya vaksin atau insulin yang mudah rusak jika transportasinya tidak tepat sehingga begitu sampai ke tangan pasien mungkin efikasinya berkurang,” imbuh Luthfi. Luthfi akan menyerahkan hasil survei ini kepada pihak pemangku kepentingan sebagai bahan pertimbangan.
“Layanan kesehatan digital menjadi suatu hal yang tak terelakkan. Investasi di rumah sakit tidaklah mahal jika diukur dengan tingkat pengembaliannya cepat dengan menerapkan layanan kesehatan digital,” tandas Luthfi. Di kesempatan yang sama, Leader Life Science & Healthcare Deloitte Indonesia Steve Aditya mengatakan, revolusi digital di bidang kesehatan tak dimungkiri berkat pesatnya teknologi dan inovasi di bidang kesehatan yang makin mengarah pada teknologi kesehatan yang bersifat inklusif dan memungkinkan penggunanya untuk melakukan banyak hal, mulai mencari informasi kesehatan, konsultasi dengan dokter, hingga mengunduh berkas kesehatan.
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet di Indonesia ( APJII) tahun 2017 menunjukkan bahwa sebanyak 51 persen masyarakat yang menggunakan aplikasi kesehatan memanfaatkan untuk mencari informasi kesehatan, dan sebanyak 14,05 persen menggunakannya untuk berkonsultasi dengan ahli kesehatan. Aditya menyebut, di dunia internasional pengobatan jarak jauh (telemedicine), diagnosis prediktif, sensor melalui tubuh dan serangkaian aplikasi canggih mengubah cara manusia mengelola kesehatannya.
Sedangkan di Indonesia, perjalanan ke arah kemudahan tersebut semakin terbuka. “Dengan digitalisasi bisa mengurangi beban biaya kesehatan dan mensejahterakan masyarakat Indonesia dengan harga terjangkau dalam mendapatkan biaya kesehatan yang murah,” pungkas Aditya. (DD)