Merdeka.com – Founder & chairman Center for healthcare policy and reform studies (chapters) Indonesia, Luthfi Mardiansyah mencatat bahwa sebesar 84,4 persen pengguna pelayanan aplikasi kesehatan berbasis digital merasa puas. Mereka puas karena diberi kepraktisan, kenyamanan, serta harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan berobat di klinik maupun rumah sakit.
Kendati demikian, aplikasi kesehatan berbasis digital yang saat ini tengah menjamur di Indonesia masih memiliki beberapa kekurangan dalam pelaksanaannya, seperti data privasi pasien, miskomunikasi antara dokter dengan pasien, dokter yang kurang berpengalaman, serta aplikasi-aplikasi kesehatan ini belum memiliki legalitas hukum. Ditambah lagi regulasi mengenai teknologi di bidang kesehatan dari pemerintah belum tersedia.
Dari faktor kekurangan ini, setidaknya sebanyak 15,6 persen pengguna merasa tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan aplikasi kesehatan berbasis digital tersebut.
“Regulasi harus ada, sehingga mereka yaitu pemain (penyedia aplikasi) dan pengguna aplikasi tahu persis konsekuensinya apa. Misal saya pelaku aplikasi itu, saya melakukan kesalahan, ya pasti saya ada hukuman,” ucap Luthfi Mardiansyah saat ditemui di Artspace Artotel Wahid Hasyim Jakarta, Senin (19/8).
Menurutnya, regulasi berguna untuk memproteksi pasien sekaligus memproteksi aplikasi-aplikasi yang melayani pengobatan berbasis digital yang tengah beroperasi di Indonesia seperti halodoc, prosehat, homedika, pesanlab dan lain lain. Regulasi dari pemerintah diperlukan dalam menjalankan teknologi dibidang kesehatan ini.
Selain itu, aplikasi kesehatan berbasis digital saat ini belum menjamin data privasi pasien terproteksi sehingga tidak dapat diakses oleh siapapun kecuali pasien itu sendiri guna untuk menghindari penyalahgunaan data. Maka dari itu, diperlukan adanya regulasi untuk mempertegas hak privasi data-data pasien yang telah menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut.
“Namun ada beberapa hal yang perlu kita sikapi mengenai data pasien ini, siapa yang simpan? Apakah rumah sakit? Kita kan tidak mau data kita diketahui oleh orang lain,” ujarnya.
Terkait dengan kekurangan yang masih dimiliki aplikasi-aplikasi kesehatan tersebut, Center for healthcare policy and reform stdies (chapter), melakukan kerja sama dengan Bahar law firm dan Deloitte Indonesia, menganalisis cara kerja dari aplikasi-aplikasi tersebut sehingga menghasilkan roadmap atau sebuah peta jalan hasil penelitian yang dilakukan bersama mengenai teknologi elektronik health (e-health) atau aplikasi kesehatan yang saat ini tengah berkembang di Indonesia.
“Roadmap atau peta jalan ini bentuknya seperti buku besar, nanti kita berikan linknya juga sehingga semua developer bisa mengakses,” tandas Luthfi. Rencananya peta jalan ini akan di launching pada 22 agustus 2019 mendatang di Hotel Mulia Jakarta.