Hampir empat tahun program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjamin biaya pengobatan masyarakat Indonesia. Namun masih banyak kendala yang dihadapi, termasuk defisitnya anggaran yang disiapkan pemerintah.
Apalagi setiap tahun, jumlah peserta JKN bertambah banyak. Namun, pelayanannya belum begitu bagus. Apalagi pemerintah menyasar program universal health coverage, yang mana semua masyarakat Indonesia diminta menjadi peserta JKN.
Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) Luthfi Mardiansyah mengungkapkan, klaim rasio antara peserta JKN dan PBI (Penerima Bayar Iuran) tidak seimbang. Pemanfaatannya dianggap lebih besar untuk peserta PBI, meskipun mereka jaminan pembayarannya ditanggung pemerintah.
“Apalagi di kota-kota besar, pemanfaatannya itu tidak seimbang. Seharusnya mutu pelayanan harus ditingkatkan, khusus peserta JKN,” ujar Luthfi dalam diskusinya di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2018).
Luthfi meminta agar semua pemangku kepentingan program JKN mengubah aturan yang sudah dibuat. Apalagi, belakangan ini, keuangannya dilaporkan selalu defisit. Mengingat saat ini peserta JKN melibatkan 70% penduduk Indonesia atau sekira 188 juta penduduk.
Sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2017, claim ratio setiap tahunnya diatas 100% bahkan diperkiran 114% di tahun 2017. Idealnya klaim rasio tidak lebih dari 95%.
“Kita juga harus lihat, pemanfaatan program ini di kalangan populasi PBI 60% masih rendah, dari data claim ratio disekitar 70%,” beber Luthfi.
Pada kesempatan sama Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Laksono Trisnantoro menambahkan, saat ini BPJS Kesehatan membayar manfaat peserta penderita penyakit kronis tidak menular, sekitar 30% atau sekitar Rp17 Triliyun. Penyakit paling besar pembiayaannya yakni jantung, diabetes dan kanker.
“BPJS Kesehatan membayar manfaat untuk penyakit-penyakit karena gaya hidup. Seharusnya dapat dilakukan tindakan preventif”, tambah Laksono.
Sementara itu, lanjutnya, pemerintah juga harus menangani kasus penyakit menular, atau infeksi. Seperti saat ini KLB difteri dan tuberkulosis, hepatitis, HIV, dan lainnya.
Sayangnya, menurut Luthfi, dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, peserta JKN masih mengalami disparitas. Seharusnya hal ini tidak boleh mereka alami, karena haknya harus disamakan.
Sangat perlu dilakukan evaluasi sistem rujukan dan rujuk balik. Dari data yang ada, jumlah kunjungan ke faskes di tahun 2016, sebesar 192,9 juta pasien. Namun 30% di antaranya kunjungan ke faskes tingkat lanjutan (FKTL) dan 87% adalah rawat inap.
Di sisi lain, jumlah fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan masih relatif kurang, dibandingkan dengan jumlah peserta BPJS Kesehatan atau penduduk Indonesia. Jumlah FKTP saat ini baru 21.468 dan FKTL 2.496.
“Disparitas antar kota cukup tinggi, contoh terjadinya antrean panjang pasien JKN dan lamanya waktu tunggu untuk pemeriksaan laboratorium,” bebernya.
Belum lagi saat pasien mendapatkan tindakan pengobatan lanjutan. Hal ini membuktikan kurangnya faskes dan tenaga kesehatan, khususnya di daerah Indonesia Timur. Pemerintah harus terus menggenjot pembangunan fasilitas kesehatan yang layak dan berguna bagi masyarakat.