Oleh Luthfi Mardiansyah, Chairman of Chapters Indonesia
Demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang utama. DBD kini menjadi endemis, di lebih dari 100 negara, dan sebanyak 3.6 milyar orang, atau sekitar 40% dari populasi dunia, hidup dan tinggal di daerah endemis demam berdarah, termasuk di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, sehingga berisiko tertular dan terkena penyakit.
Pengertian tentang DBD
DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui nyamuk aedes aegypti. Jika tidak ditangani dengan baik, DBD bisa menyebabkan komplikasi yang cukup parah bahkan berujung pada kematian. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami gejala dan pencegahan DBD serta mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi risiko penularan. DBD dapat menyerang anak-anak dan orang dewasa. Penyakit ini menular ketika nyamuk pembawa virus Dengue menggigit penderita demam berdarah, kemudian menggigit orang yang sehat. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah beriklim tropis, termasuk Indonesia, dan angka kejadian penyakit ini biasanya meningkat ketika musim hujan.
Kasus DBD di Indonesia
Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, terdapat 764 kasus kematian akibat DBD di Indonesia, ada penurunan dibandingkan dengan 1.236 kasus kematian pada tahun 2022. Namun masyarakat Indonesia harus semakin waspada, mengingat data dari Kemenkes RI, menunjukkan kasus DBD di awal tahun 2024, dilaporkan lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Pada akhir bulan Februari 2024, sudah tercatat setidaknya 15.977 kasus DBD dengan 124 kasus kematian.
Menurut penjelasan Kemkes RI, terjadinya El Nino yang bersuhu panas dan kering diikuti dengan La Nina yang disertai hujan akan berdampak pada perkembangan tempat perindukan nyamuk dan penetasan telur. Hal inilah yang menyebabkan risiko penularan DBD menjadi tinggi. Faktor lain yang berkontribusi adalah laju urbanisasi yang pesat dan meningkatnya pergerakan masyarakat di seluruh dunia seiring dengan kembalinya peningkatan perjalanan masyarakat via udara ke tingkat sebelum terjadinya pandemi.
Menghadapi kenyataan ini, dan berkembangnya resistensi nyamuk terhadap insektisida, ada pendekatan baru yang baru-baru ini telah diuji termasuk keberhasilan penggunaan bakteri Wolbachia untuk menekan populasi nyamuk. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di lima desa di Yogyakarta menunjukkan bahwa pelepasan nyamuk aedes aegypti yang ber-Wolbachia dapat menurunkan kasus demam berdarah sebesar 77% dan Menurunkan angka rawat inap akibat demam berdarah sebesar 86%.
Apakah ada vaksin yang dapat digunakan oleh manusia untuk melindungi dari virus Dengue?
Tidak seperti banyak penyakit lain yang dapat dicegah dengan vaksinasi seperti campak, influenza, tetanus, TBC dan Covid-19, vaksin yang efektif untuk mencegah DBD terbukti sulit diperoleh meskipun telah dilakukan penelitian intensif selama empat dekade terakhir, hingga saat ini. Ini dikarenakan fakta bahwa terdapat empat jenis virus dengue yang berbeda ditambah dengan pemahaman yang tidak lengkap tentang pathogenesis penyakit demam berdarah yang parah. Vaksin harus memberikan perlindungan yang sama terhadap keempat serotipe dan yang juga penting adalah masalah keamanan berdasarkan apakah penerima vaksin sebelumnya pernah terpapar virus dengue atau tidak.
Setelah riset dan pengembangan pada era tahun 1980an dan 1990an, akhirnya vaksin DBD yang dikembangkan oleh Sanofi Pasteur dan disetujui untuk digunakan pada manusia di Meksiko pada tahun 2015, dengan nama Dengvaxia. Kemudian diterapkan di Filipina mulai tahun 2016 yang menargetkan satu juta anak untuk menerima vaksin tersebut. Namun hasilnya sangat disayangkan, pada anak-anak yang sebelumnya belum terpapar virus dengue, setelah diberikan vaksinasi, mengakibatkan penyakit parah. Akhirnya pemerintah Filipina memberhentikan program vaksinasi dan mencabut ijin edar vaksin tersebut.
Penelitian dan pengembangan vaksin DBD terus berlanjut, saat ini ada dua lagi kandidat vaksin dengan data yang menggembirakan mengenai kemanjuran (efficacy) dan keamanan (safety). Vaksin pertama, dikembangkan oleh Takeda Pharmaceuticals, bernama QDenga, telah diberikan kepada 28.000 orang di beberapa negara endemis, hasilnya 76% dapat melindungi dari keempat serotipe. Saat ini di Indonesia sedang dilakukan vaksinasi dengan vaksin Takeda di pulau Kalimantan. Vaksin kedua, kerjasama yang dilakukan oleh National Health Institute of Health (NIH) Amerika Serikat dan Merck (MSD), dimana baru-baru ini melaporkan hasil final fase percobaan di Brazil, kepada 16.000 orang, hasilnya tingkat efikasinya 80% dan tidak ada yang terkena penyakit parah yang dilaporkan. Percobaan klinis akan terus dilakukan di tahun 2024, untuk mendapatkan data yang dibutuhkan bagi persetujuan ijin edar.
Faktor risiko dan gejala DBD
Virus Dengue dapat mengakibatkan dua kondisi, yaitu demam dengue dan demam berdarah dengue (DBD). Bedanya, demam berdarah dengue dapat menyebabkan gejala yang berat, sedangkan demam dengue biasanya hanya menimbulkan gejala ringan. Namun, tahap awal kedua kondisi ini memiliki gejala yang mirip.
DBD lebih banyak terjadi saat musim hujan. Hal ini karena pada musim tersebut, nyamuk aedes aegypti lebih banyak berkembang biak. Selain itu, seseorang lebih berisiko terkena DBD jika ia berada di daerah dengan kasus demam berdarah yang tinggi, terutama jika area tersebut padat penduduk. Selain itu, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko pasien mengalami demam berdarah dengan gejala lebih berat, antara lain; berusia anak-anak atau lansia, sedang hamil, memiliki daya tahan tubuh yang lemah atau pernah menderita demam darah sebelumnya.
Gejala utama DBD adalah naiknya suhu tubuh secara mendadak. Pada anak-anak, fase demam pada DBD berbentuk seperti pelana kuda, yaitu turun selama beberapa hari, kemudian naik lagi. Demam pada DBD umumnya berlangsung selama 3 hari, bisa mencapai suhu 39−40°C dan sulit turun walaupun penderita telah mendapatkan obat penurun panas. Selain demam, ada beberapa gejala lain yang dapat menyertainya, seperti; lemas, sakit kepala hebat, nyeri dibelakang mata, hilang nafsu makan, mual dan muntah, sakit otot sendi dan ruam kemerahan.
Selanjutnya, demam akan turun dan pasien merasa lebih baik. Namun, pada fase ini, trombosit justru sedang turun drastis dan terjadi kebocoran pada pembuluh darah. Akibatnya, pasien berisiko mengalami perdarahan dan syok karena pembuluh darah kehilangan banyak cairan. Fase setelah demam turun merupakan fase kritis sehingga pasien harus diawasi secara ketat. Tanda bahaya yang perlu diawasi pada fase ini antara lain: nyeri perut yang berat, muntah-muntah tidak kunjung berhenti, gelisah, gusi berdarah atau mimisan, BAB berdarah, jantung berdebar dan nafas cepat dan kulit dingin, pucat dan basah.
Segera periksakan diri ke dokter jika Anda atau anak Anda mendadak demam tinggi disertai gejala awal demam berdarah lainnya dan segera ke dokter jika mengalami tanda-tanda bahaya seperti yang telah disebutkan di atas setelah demam turun.